Untuk mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), salah satu indikator yang perlu dicapai adalah adanya Kawasan Tanpa Rokok (KTR) -Cek www.kla.id/indikator-kla/ untuk lengkapnya. Ada 389 Kab/Kota yang berkomitmen menjadi Kab/Kota Layak Anak. Banyak ya? Bagaimana pelaksanaannya?
Tunggu dulu. Kata siapa itu sudah ada 389 (dari 516 Kab/Kota di Indonesia)? Jadi, artikel ini dibuat berdasarkan apa yang saya rangkum (kurang lebih) dari siaran Kantor Berita Radio KBR dalam program Ruang Publik KBR bertema Kawasan Tanpa Rokok untuk Wujudkan Kota Layak Anak. Siaran tersebut mengudara pada 12 April 2019 lalu.
www.instagram.com/kbr.id |
Ada tiga orang narasumber pada tema tersebut, yaitu ...ibu Sumiati (Pegiat Kampung Tanpa Rokok), dan ibu Ir. Yosi Diani Tresna, MPM (Kasubdit Perlindungan Anak, Dit. Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga, Kementerian PPN/Bappenas), serta mbak Nahla dari Yayasan Lentera Anak.
Kembali ke pembahasan yang tadi. Jadi, -kata bu Yosi- boleh dikatakan bahwa antusiasme dari kabupaten/kota itu cukup besar untuk mewujudkan KTR dan KLA. Sebab? Sebab ada perhargaannya :p HAHA.
Penghargaan Kab/Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu prestige bagi kepala daerah (juga barangkali bagi masyarakatnya). Sehingga kepala daerah berlomba-lomba ingin mewujudkan KTR di daerahnya masing-masing.
Ternyata, KLA itu ada tingkatannya: Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan KLA. Walau masih Pratama, sudah masuk KLA. Hmmm, tepatnya Kab/Kota-Menuju-Layak Anak. Menuju. Saat ini, kata bu Yosi, baru ada 2 yang berada di tingkat Utama, yaitu Surabaya dan Surakarta.
Kab/kota akan dievaluasi dalam jangka waktu tertentu, terus dinilai, dan peringkatnya tentu saja bisa berubah.
Kendati demikian, masih ada daerah yang belum memiliki KTR, dan belum berkomitmen membuat regulasi KTR. Semoga kepala daerah pun dapat menganggap isu rokok sebagai isu penting.
For our information, dari 389 Kab/Kota, baru 103 yang memiliki peraturan terkait dengan KTR.
Berhubung kepala daerah ingin menjadikan daerah yang ia kepalai menjadi daerah KLA, maka dibuatlah perda KTR. Sehingga akhirnya memaksa masyarakat di mana diterapkan KTR itu untuk tidak merokok. Paksa.
Bahkan di Kampung Penas, Kampung Warna-warni Tanpa Rokok itu pun meski telah ada kesepakatan, tetap ada rasa paksaan bagi segelintir minoritas, atau pendatang yang merupakan perokok. Namun setidaknya di kampung ini sudah ada kesadaran, yang dilatarbelakangi oleh ibu-ibu yang ingin sehat dan menghirup udara segar. Sadar.
Ngomong-ngomong soal KLA, bagaimanapun, lingkungan merupakan suatu yang sangat berpengaruh, bagi siapapun, tak terkecuali bagi anak-anak. Anak-anak dan rokok adalah dua komponen yang seharusnya tak dibaurkan.
Pemerintah pun sudah membuat kebijakan, seperti penerapan KTR di sekolah, aturan jam tayang iklan rokok di televisi di atas pukul setengah sepuluh malam, tidak melibatkan anak dalam iklan rokok, tidak memuat iklan produk tembakau di media cetak untuk anak dan remaja, dsb.
Setelah nominal jumlah Kab/Kota, kini kita masuk ke angka prevalensi perokok usia anak. Pada Riskesdas 2013, prevalensi perokok anak ialah 7,2%. Di Riskesdas 2018, jumlah itu naik menjadi 9,1%. Huhu. Apa yang kurang dari kebijakan pemerintah???
Menurut bu Yosi, "Sinkronisasi kebijakan di bidang perdagangan, pertanian, terkait pertembakauan dengan kebijakan KTR yang dikawal oleh kesehatan itu salah satu tantangan yang pemerintah terus berupaya untuk mensinkronkan sehingga kita berharap ke depan prevalensi sesuai dengan yang diharapkan."
Ya, ada beragam sudut pandang. Ada untuk bagian pemerintah. Ada untuk bagian masyarakat. Bagaimanapun, untuk mewujudkan KTR dan KLA itu adalah upaya bersama. Regulasi tanpa aksi sama aja bohong. Aksi tanpa regulasi hmm jangan sampai hukum rimba terjadi.
Kadang dipaksa dulu baru jadi sadar(?)
Akhirnya, saya menutup artikel ini dengan meminjam kata-kata penutup dari bu Yosi, "Di 2030 kita harapkan Indonesia menjadi Indonesia yang layak anak."
(Hmmm, jiwa-jiwa gak sabaran saya kok jadi bangkit? 2030 masih lama... Hm. Relatif, sih. Semoga bisa sebelum 2030 :)))
PS: Ruang Publik KBR 12 Februari 2019 bisa didengarkan di http://bit.ly/2X3IMDR
Soal Kampung Tanpa Rokok, sudah saya buat dalam tulisan yang terpisah di artikel Kampung Penas, Kampung Warna-warni Tanpa Rokok. Mangga disimak juga. Worth to read :))
Kembali ke pembahasan yang tadi. Jadi, -kata bu Yosi- boleh dikatakan bahwa antusiasme dari kabupaten/kota itu cukup besar untuk mewujudkan KTR dan KLA. Sebab? Sebab ada perhargaannya :p HAHA.
Penghargaan Kab/Kota Layak Anak (KLA) merupakan suatu prestige bagi kepala daerah (juga barangkali bagi masyarakatnya). Sehingga kepala daerah berlomba-lomba ingin mewujudkan KTR di daerahnya masing-masing.
Ternyata, KLA itu ada tingkatannya: Pratama, Madya, Nindya, Utama, dan KLA. Walau masih Pratama, sudah masuk KLA. Hmmm, tepatnya Kab/Kota-Menuju-Layak Anak. Menuju. Saat ini, kata bu Yosi, baru ada 2 yang berada di tingkat Utama, yaitu Surabaya dan Surakarta.
Demi tunas bangsa |
Kab/kota akan dievaluasi dalam jangka waktu tertentu, terus dinilai, dan peringkatnya tentu saja bisa berubah.
Kendati demikian, masih ada daerah yang belum memiliki KTR, dan belum berkomitmen membuat regulasi KTR. Semoga kepala daerah pun dapat menganggap isu rokok sebagai isu penting.
For our information, dari 389 Kab/Kota, baru 103 yang memiliki peraturan terkait dengan KTR.
Berhubung kepala daerah ingin menjadikan daerah yang ia kepalai menjadi daerah KLA, maka dibuatlah perda KTR. Sehingga akhirnya memaksa masyarakat di mana diterapkan KTR itu untuk tidak merokok. Paksa.
Bahkan di Kampung Penas, Kampung Warna-warni Tanpa Rokok itu pun meski telah ada kesepakatan, tetap ada rasa paksaan bagi segelintir minoritas, atau pendatang yang merupakan perokok. Namun setidaknya di kampung ini sudah ada kesadaran, yang dilatarbelakangi oleh ibu-ibu yang ingin sehat dan menghirup udara segar. Sadar.
Ngomong-ngomong soal KLA, bagaimanapun, lingkungan merupakan suatu yang sangat berpengaruh, bagi siapapun, tak terkecuali bagi anak-anak. Anak-anak dan rokok adalah dua komponen yang seharusnya tak dibaurkan.
Pemerintah pun sudah membuat kebijakan, seperti penerapan KTR di sekolah, aturan jam tayang iklan rokok di televisi di atas pukul setengah sepuluh malam, tidak melibatkan anak dalam iklan rokok, tidak memuat iklan produk tembakau di media cetak untuk anak dan remaja, dsb.
Setelah nominal jumlah Kab/Kota, kini kita masuk ke angka prevalensi perokok usia anak. Pada Riskesdas 2013, prevalensi perokok anak ialah 7,2%. Di Riskesdas 2018, jumlah itu naik menjadi 9,1%. Huhu. Apa yang kurang dari kebijakan pemerintah???
Menurut bu Yosi, "Sinkronisasi kebijakan di bidang perdagangan, pertanian, terkait pertembakauan dengan kebijakan KTR yang dikawal oleh kesehatan itu salah satu tantangan yang pemerintah terus berupaya untuk mensinkronkan sehingga kita berharap ke depan prevalensi sesuai dengan yang diharapkan."
Jawaban bu Yosi setelah ditanya bagaimana target prevalensi perokok anak, "Kita harus optimis" |
Ya, ada beragam sudut pandang. Ada untuk bagian pemerintah. Ada untuk bagian masyarakat. Bagaimanapun, untuk mewujudkan KTR dan KLA itu adalah upaya bersama. Regulasi tanpa aksi sama aja bohong. Aksi tanpa regulasi hmm jangan sampai hukum rimba terjadi.
Kadang dipaksa dulu baru jadi sadar(?)
Akhirnya, saya menutup artikel ini dengan meminjam kata-kata penutup dari bu Yosi, "Di 2030 kita harapkan Indonesia menjadi Indonesia yang layak anak."
(Hmmm, jiwa-jiwa gak sabaran saya kok jadi bangkit? 2030 masih lama... Hm. Relatif, sih. Semoga bisa sebelum 2030 :)))
PS: Ruang Publik KBR 12 Februari 2019 bisa didengarkan di http://bit.ly/2X3IMDR
kirayapakahbddh ada wilayah atau kota yg tanpa adap rokok bebas y mb? wah pasti nyaman sekali untuk bermain anak-anak sekitar. terima kasih sdh brbagi mb ^^
ReplyDeleteiya, sih. butuh sistem masyarakat yang baik agar yang buruk2 tidak muncul dan mendominasi, ya.
ReplyDeleteSemuanya harus ikut serta supaya KTR dan KLA terwujud
ReplyDeleteDuh semoga kedepannya semakin banyak KLA dan KTR di Indonesia mengingat prevalensi kasus infeksi pernapasan pd anak yg terus meningkat seperti pneumonia misalnya membuat emak2 sprti saya jadi agak parno-an kalo ada yg merokok di dekat anak.. kasian kan anak2 yg jd korban
ReplyDeleteaku mendukung program implementasi KLA dan KTR ini mbak, walo bapakku masih perokok aktif namun sudah mulai terusir dengan ceramahan dari cucunya hehehe
ReplyDeletewah enggak anak-anak aja saya juga mau banget loh punya kawasan atau daerah yang tanpa rokok huhu. Kangen akutuh. meski di rumah enggak ada yang ngerokok tetap aja pas keluar rumah kehirup deh tuh asap rokok. Aamiin semoga lebih cepat adanya KLA dan KTR enggak lama nunggu sampe 2030, hihi.
ReplyDeleteSepakat Mbak, perlu ada KLA di setiap daerah. Anak-anak sebagai tunas bangsa butuh udara bebas rokok. Walau tak mudah, semoga segera terwujud. Amin.
ReplyDeleteKLA perlu diwujudkan Mbak. Semoga segera terealisasi ya.
ReplyDeleteDi Malang sudah mulai dihembus2kan utk menjadi kota layak anak juga nih mbak
ReplyDeleteKenapa saya fokus pada tulisan kota/kabupaten yg berusaha mewujudkan diri sebagai KLA hanya karena mengejar penghargaan ya? :D
ReplyDeleteSemoga bisa terwujud dalam waktu lebih cepat, ya, Mbak....jadi ingat kalau pulkam, hampir semua orang merokok tak peduli di dalam rumah ada anak-anak atau nggak...miris banget sih karena itu Bapak saya sendiri..hiks. Qadarallah beberapa bulan ini sudah berhenti..semoga seterusnya...
ReplyDeleteWalaupun 2030 masih lama yuk aminkan mbak! Saya juga benci sekali sama perokok perokok apalagi dengan enaknya buang asap di dekat saya dan anak saya. Huh! Emosi mendadak
ReplyDeleteAamiin , semoga bisa cpt terwujud ya KLA dan KTR nya.
ReplyDeleteSemua py hak untuk kawasan yang bebas rokok
semoga semakin banyak KLA dan KTR di Indonesia ya mbak :)
ReplyDeleteDisamping rasa sadar akan bahaya rokok dan keinginan untuk bisa merasakan KTR yang terpenting juga adalah bukti konkrit dari semua elemen untuk mewujudkan KTR itu sendiri. Kalau Kotaku ini, Kendari klo ndk salah udah masuk KLA, tapi menuju KTRnya kemungkinan masih sebatas niat, laahh perokok masih bertebaran dimana2, lebih miris lagi kadang masih aja lihat anak di bawah umur pun udah mulai ngerokok juga *gemeessss
ReplyDeleteKeren banget kampung tanpa rokok bukan hal yang mudah tapi memang bukan tak mungkin
ReplyDeleteKemauan masyarakatnya jg jadi faktor utama, sih bukan sekedar mau tp tidak berbenah mulai dri lingkungan terkecil.
ReplyDeleteYa semoga sebelum tahun 2030 kawasan tanpa rokok ini bisa segera terealisasi. Apalagi semenjak jadi ibu, saya jadi anti banget dekat2 dengan orang yang merokok karena tahu dampaknya terutama bagi anak2. Ya, syukur saja di rumah saya gak ada yang merokok.
ReplyDeleteaku setuju banget semoga tahun 2030 ini bisa ada kawasan tanpa rokok. Karena sesungguhnya aku sudah jengah banget sama orang-orang yang ngerokok sebebasnya, ga memikirkan bagaimana yg menjadi perokok pasif merasakan dampaknya
ReplyDelete